salam :)

assalamu'laikum welcome to my blog, semoga bermanfaat jangan lupa oleh-oleh komentar dari kalian semua,, terima kasih :)

Selasa, 06 November 2012

HADITS SHAHIH DAN SYARATNYA

Syarat Hadits Shahih
1.Muttasil(bersambung) sanadnya
2. Perawi yang ‘adil (al-‘adalat)
3. Perawi yang dabit (ad-dabtu)
4. Perawi yang tidak shududh (janggal)
5. Perawi yang tidak ‘illat (cacat)

Definisi Syarat-Syarat Hadits Shahih
1. Muttasil (bersambung) sanadnya
Adalah hadits yang mana tiap-tiap periwayat dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat sebelumnya yang terdekat, keadaaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits tersebut. Jadi, seluruh rangkaian periwayat dalam sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh mukharrij (penghimpun hadits dalam karya tulisnya) sampai kepada kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadits yang periwayatannya bersambung dari Nabi.
Ulama hadits berbeda pendapat mengenai nama hadits yang sanadnya bersambung. Al-Khatib Al-Baghdadi(463 H / 1072 M) memberi nama dengan hadits musnad. Sedangkan musnad sendiri menurut Ibn Abd Al-Bar(463 H / 1071 M) ialah hadits yang disandarkan kepada nabi(hadits marfu’) sedangkan hadits musnad sanadnya ada yang bersambung dan ada yang terputus. Dengan demikian ulama hadits umumnya berpendapat bahwa hadits musnad pasti marfu’ dan bersambung sanadnya sedangkan hadits marfu’ belum tentu hadits musnad.
Untuk mengetahui bersambung(dalam arti musnad) atau tidak bersambung suatu sanad, ulama hadits menempuh penelitian sebagai berikut:
(a) Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti
(b) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat
(c) Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yaitu apakah kata yang dipakai berupa haddatsani, haddatsana, akhbarna, ‘an, anna atau kata yang lainnya.
Jadi suatu sanad hadits baru dikatakan bersambung jika:
(a) Seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar thiqat (adil dan dhabit); dan
(b) Antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwatan hadits secara sah menurut ketentuan tahammul wa al-ada” al-hadits (tranformasi penyampaian dan penerimaan hadits)
2) Perawi yang Adil (al- ‘adalat)
Adalah sifat yang melekat pada jiwa seorang perawi, dan dapat menjadikan dirinya konsisten dalam menjalankan agama, serta mampu memelihara ketaqwaan dan muru’ah. Prinsip ini dirumuskan dari unsure-unsur yang harus dimiiliki oleh seorang perawi.
Ulama hadits membuat rumusan bahwa keadilan seorang perawi harus dikonotasikan kepada seorang muslim yang telah baligh dan berakal sehat, serta bebas dari fasiq dan moral yang rendah. Karena menurut pendapat ulama hadits, pada berbagai hal menempatkan persoalan periwayatan hadits sebagai bagian dari aspek agama, sehingga persoalan agama harus terpelihara dari pengaruh social yang negative, maupun percampuran dengan doktrin-doktrin yang tidak benar bahkan menyesatkan.
Imam syafii dan imam ahmad bin hambal, menyatakan bahwa untuk mengungkap keadilan seorang perawi tidak dapat terlepas dari pengungkapan biografinya, dan membandingkan dengan perilaku atau biografi seorang figure yang baik menurut orang banyak, dan beliau menolak periwayatan orang kafir, tetapi ia tidak ditolak sebagi murid.
Apabila menjadi muslim dan meriwatkan kembali hadits yang telah diterimanya, maka dapat diterima periwayatannya. Sama halnya dengan periwayatan anak yang belum dewasa, statusnya hanya sebagai murid dan tidak sebagai seorang perawi dan diterima periwayatannya apabila telah akil baligh, begitu juga dengan orang fasik dan munafik, ditolak periwayatannya hingga keduanya bertobat. Dan menurut Abu Hanifah, yang dimaksud dengan perawi yang adil adalah seorang muslim yang baik, terutama dalam Aqidah maupun syariahnya. Dengan kata lain bahwa ia adalah seorang muslim yang dapat memelihara aqidah dan syariahnya serta mampu mengaktualisasikan kedua hal tersebut. Beberapa rumusan tentang keadilan yang dinyatakan oleh tokoh-tokoh sesudah abad kedua hijriah adalah sebagai berikut:

(a) Muhammad bin ubaidillah al-maliki mennyeritakan bahwa al-qadi Abu Bakr Muhammad bin Thayyib mengatakan; al-‘adalat(keadilan) yang dimaksud baik dalam persaksian maupun periwayatan ialah dikonotasikan pada konsistensi beragama (lurus agamanya) terlepas dari fanatisme aliran, terhindar dari kefasikan, atau perbuatan sama, baik dari perilaku maupun hati.
(b) Keadilan yang berkembang dikalangan ulama hadits, sejak awal abad ketiga hijriah sampai sekarang. Al-adalat(keadilan) ialah suatu sikap pengendalian diri dari perbuatan dosa besar dan kecil. Yang lebih rinci lagi dinyatakan : bahwa orang-orang yang selalu taat kepada agama dan mampu memelihara etikanya, maka dapat diterima periwayatan dan kesaksiannnya. Namun bila selalu dalam kemaksiatan dan beretika rendah, maka ditolak semua periwayatannya.
(c) Dari kalangan fuqaha’ ditemukan beberapa rumusan seperti yang dikemukakan al-ghazali, bahwa al-adalat(keadilan) baik dalam periwayatan maupun persaksian yaitu ungkapan yang dimaksud untuk mengetahui keberadaan keagamaan seorang secara konsisten, dan impikasinya dalam sikap, perilaku maupun jiwa dan ketaqwaan.
(d) Ibnu taimiyah dalam suatu pendapatnya mengatakan bahwa al-adalat adalah sikap dan sifat yang dimiliki seseorang yang dapat memelihara kemaslahatan-kemaslahatan dan hukum-hukum.
(e) Rumusan yang dikemukakan dari penafsiran ulama usul. Dimaksud dengan ‘adil adalah ungkapan yang menunjukkan titik tengah antara beberapa hal, tanpa lebih atau kurang terhadap satu hal, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an ; Kata wasatan adalah al-‘adl dan al-wasat menunjuk makna satu yaitu al-‘adl. Perkembangan prinsip al-adalat sebagai penentu diterima atau ditolaknya suatu riwayat hadits, memperlihatkan sebagai syarat yang baku untuk memelihara kesahihan kehujjahan as-sunnah. Prinsip ini oleh para ulama dipegangi sebagai asas untuk menentukan antara ditolak atau diterimanya suatu riwayat hadits. Tidak jarang diantara para sahabat mengambil sikap menangguhkan hadits yang disampaikan oleh sahabat lain, sebelum diperoleh informasi yang akurat dari sahabat lain. Tidak sedikit pula diantara mereka menyaksikan periwayatan yang disampaikan oleh orang tertentu. Meski sikap itu diambil oleh sebagia sahabat namun bukan dimaksud untuk menciptakan kerendahan martabat sahabat dalam periwayatan hadits, malainkan untuk menentukan otentitas kualitas hadits sebagai sumber syariah. Sehingga kalangan utama dari generasi sesudahnya mengangkat prinsip tersebut sebagai suatu kaidah atau prinsip untuk menentukan suatu sumber syariah. Himgga memasuki periode abad ketujuhpun tidak mengalami perubahan, dan oleh para ulama, baik muhaditsin maupun usuliyin serta fuqaha’ masih memegangnya. Seperti pada kitab-kitab yang mengkaji teori-teori hadits maupun teori usul fiqh sampai decade sekarang tidak menghapuskan prinsip al-adalat, dalam penilaian atau penerimaan as-sunnah sebagai dasar pembangunan hukum syariah.
3) Perawi yang dabit(ad-dabtu)
Secara terminologi al-dawabit ialah ilmu untuk menyatakan kapabilitas seorang perawi, secara etimologi dapat diartikan penguasaan dengan mantap, pelakunya disebut dengan orang yang kokoh dalam berusaha Pengertian secara terminology diantaranya:
1. Ahli hadits berarti kecerdikan seorang perawi menerima hadits dan memeliharanya, hingga sewaktu menyampaikan ulang tanpa adanya kesalahan atau kerancuan, baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.
2. Para ulama usul fiqh menekankan seorang perawi pada kesempatan pemeliharaan serta kemampuan hafalan, terhindarnya dari kelupaan atau kerancuan diantara satu riwayat dengan riwayat lain yang dimiliki oleh seorang perawi.
3. Sama dengan teori yang lebih awal dikemukakan oleh al-shafi’I bahwa untuk suatu riwayat harus disampaikan oleh seorang perawi yang mampu memelihara periwayatan hadits secara otentis, baik dari hafalan maupun catatannya, disamping mengetahui perubahan struktur kata dan maknanya.
4. Imam malik menyatakan bahwa sebuah hadits harus diriwayatkan dari seorang laki-laki yang bertaqwa dan mampu memelihara periwayatan, mempunyai pengetahuan dan dapat memahami, juga mengetahui bila terdapat perubahan materi periwayatan dari hafalannya pada saat meriwayatkan ulang.
Karena itu, bila seorang rawi tidak memiliki kapabilitas demikian, maka tidak aka nada artinya dari apa yang telah diriwayatkannya dan tidak dapat dijadikan hujjah periwayatannya.
Makna al-dabit kemudian mengalami pemilahan secara karakteristik, yaitu al-dabtu fi al sudur dan al-dabtu fi al-kitabah.
1. Ciri pada sifat yang pertama (al-dabtu fi al sudur) adalah kecermatan seorang perawi menghafal hadits secara terus menerus, dan ia mampu mengekspos kembali untuk diriwayatkan tanpa mengalami kesulitan dan kesalahan, sebagaimana diwaktu ia menerimanya.
2. Pada ciri yang kedua (al-dabtu fi al-kitabah) bahwa seorang perawi memiliki kemampuan memelihara materi periwayatan dalam bentuk pencatatannya, sebagaimana bentuk asli, materi yang dicatat tidak terdapat kesalahan maupun kerancuan , dan dapat diriwayatkan kembali secara benar seperti di saat menerimanya.
Sebelum digunakan pembahasan tersebut sebagai dasar dalam periwayatan, para sahabat terlebih dahulu menggunakan istilah ghulat sebagai pernyataan korektif atas sahabat yang mengalami kesalahan atau kerancuan dalam periwayatannya. Kesalahan yang dimaksud adalah timbul karena lupa, bukan karena peristiwa kesengajaan yang dimaksudkan untuk merancukan struktur kalimat atau makna,lebih-lebih untuk menciptakan kebohongan dalam penggunaan as-sunnah sebagai dasar agama. Beberpa sahabat dapat disebutkan sebagai peletak dasar ini, sebagaimana yang ditempuh oleh umar bin khattab, ali bin abi thalib, ibn abbas Abdullah bin salam ubadah bin samit anas bin malik dan aisyah. Layaknya umar pernah menyampaikan suatu riwayat yang terjadi perbedaan redaksi dengan hadits yang diterima oleh Asma’ binti Umair. Tujuan yang dimaksud dalam upaya pengoreksian atas suatu riwayat, pada dasarnya murni untuk menggali otentisan dan realibilitas hadits yang sudah berdedar dalam masyarakat. Merupakan langkah yang obyektif dengan dikeluarkannya usaha tersebut, karena menurut persepsi para sahabat meskipun diantara para sahabat tidak berkepentingan untuk merusak keyakinan masyarakat terhadap sunnah rosul sebagai hokum syariah, namun tidak mustahil kesalahan periwayatan itu tidak terjadi di kalangan para sahabat. Di samping tidak bermaksud untuk merendahkan kredibilitas para sahabat tentang komitmen mereka dalam upaya penyebaran hadits sebagaimana yang dicontohkan oleh rosulullah. Karena para sahabat sangat menaruh perhatian untuk menempatkan kebenaran periwayatan sunnah rosulullah secara murni. Agar tidak terjadi kontradiksi antara redaksi atau makna sebuah hadits dengan riwayat hadits yang sama dari riwayat sahabat lain. Atau juga untuk menghindari percampuran dengan redaksi al-qur’an sebab pada masa sesudah rosulullah wafat, antara teks-teks al-qur’an an al-sunnah sama-sama tersebar di kalangan para sahabat. Usaha dan tujuan yang dibangun oleh para sahabat semakin kokoh penerapannya dikalangan para tabi’in. mereka mempertahankan atau mengaktualisasikannya tidak lagi hanya sebagai dasar pokok penolakan maupun penerimaan suatu periwayatan hadits. Namun para sahabat juga mengembangkannya dalam bentuk dasar-dasar teoritik, untuk menentukan baik kredibilitas perawi juga validitas al-sunnah untuk disosialisasikan sebagai manifestasi ajaran rosulullah. Tidak sedikit di antara mereka yang membuat pernyataan-pernyataan untuk mempertahankan dasar-dasar kedabitan dalam sistem periwayatan al-sunnah. Di antara ahli hadits Sufyan Al-sawri mengatakan “seorang perwawi tidak mungkin terjadi ghulat (salah) jika ia memiliki hafalan yang melebihi orang lain meskipun dia lupa. Namun jika ia banyak lupa atau kesalahannya maka ia ditinggalkan(ditolak)” Tampilnya mujtahid, terutama dari kalangan fuqaha’ disamping menambah keluasan penerapan serta pengembangan dasar ini kedalam bidang kajian dasar-dasar teoritik yang bersifat universal untuk diterapkan pada semua jenis periwayatan. Mereka mengambil sikap yang sama dalam penerapan dasar kedabitan untuk perawi hadits, sekaligus sebagai hujjah bagi mazhab mereka. Abu hanifah dalam pernyataanya – selanjutnya menjadi dasar mazhab hanafiyah – menegaskan bahwa kedabitan yang dimaksudkan yaitu seorang perawi harus mampu mendengarkan sesuai dengan apa yang disampaikan seorng guru atau orang yang menyampaikan, memahami makna yang dimaksud dalam materi periwayatannya, selanjutnya memlihara secara benar, selalu hafal hingga ia meriwayatkan kepada orang lain, juga mampu menyampaikan secara benar dan otentis Berbeda dengan ahli hadits, abu hanifah mengklasifikasikan antara dabtu al-sudur dan dabtu al-ma’ani, yaitu:
1. Sifat yang pertama(dabtu al-sudur) ialah seorang perawi dapat mengetahui dan tidak lemah ingatannya
2. Pada sifat yang kedua (dabtu al-ma’ani) bahwa perawi harus memahami hukum-hukum atau syariah yang dijelaskan dalam materi periwayatan. Abu hanifah dan penganut mazhabnya bersikap sangat kritis terhadap prinsip ini. Kemampuan kefaqihan seorang perawi bagi mazhabnya merupakan unsure utama dalam dasar pembangunan syariah karena baik secara teoritis maupun praktis dasar al-‘adillah(saling bertentangan dalil) diantar satu riwayat dengan yang lain seperti hadits yang dijadikan hujjah oleh Abu Hanifah.
Imam malik tidak menafsirkan kedabitan seorang perawi hanya memiliki kapabilitas memelihara hadits. Namun lebih lanjut beliau mensyaratkan juga
a. Seorang perawi harus memiliki keahlian di bidang hadits, dan
b. Memiliki pemahaman yang baik terhadap hadits yang diriwayatkan,
Menurut beliau bahwa seorang perawi yang tidak memiliki pengetahuan dan daya pemahaman tentang hadits disamping tidak memiliki kecakapan dalam periwayatannya, dan hadits yang diriwayatkan tidak dapat dijadikan hujjah. Sebab dikawasan madinah pada masa imam malik adalah merupakan dar al-hadits. Sehingga keaslian ajaran rosulullah yang tercermin dalam sunnahnya masih berjalan di kalangan komunitas muslim madinah sesuai dengan sunnah. Imam syafi’i lebih dalam lagi menginterpretasi kedabitan seorang perawi, bahwa kehujjahan seorang perawi hadits untuk diterima haditsnya adalah perawi yang memiliki kecakapan memelihara al-sunnah, baik dalam bentuk hafalan maupun catatannya. Ia tidak mengalami perubahan sedikitpun, jika meriwayatkan hadits kepada muridnya atau orang lain dan ia mampu menciptakan kebenaran otentis antara hafalan dann catatannya secara komprehensif. Meskipun imam syafi’I tidak mensyaratkan spesifikasi lain kepada seorang perawi, bahwa kecakapan yang dimiliki oleh seorang perawi dalam memelihara al-sunnah akan memberikan otentitas periwayatan. Sebab yang dimaksud al-dabtu menurut imam syafi’i adalah menunjuk kepada suatu persyaratan bahwa seorang perawi harus memiliki intelegensi yang baik,memiliki pendengaran yang baik dan mengetahui perbedaan huruf dan mendengar seara langsung, bukan pelupa dan bukan anak kecil atau orang dewasa yang tidak mengalami kestabilan intelegensi, sehingga sangat dimungkinkan otentias al-sunnah dapat terjamin.
Tingkat kedabitan peraawi menurut klasifikasi para ulama hadits ada empat macam : 1) Tam al-dabit adalah seorang perawi yang memiliki kesempurnaan hafalan dan pemeliharaan, atau hampir sama tidak terdapat kelemahan dalam hafalan dan catatannya
2) Seorang perawi yang memiliki kedabitan sama dengan ghulatnya(kesalahan)
3) Seorang perawi yang memiliki kedabitan lebih dari ghulatnya(kesalahan)
4) Seoramg perawi yang mengalami ghulat lebih banyak dari dabitnya
Dari keempat klasifikasi tersebut ada yang mutlak diterima, ada yang dipertimbangkan, dan ada juga yang mutlak ditolak oleh sebagian ulama maupun jumhur ulama.
Ulama hadits merumuskan suatu batasan bahwa seorang perawi yang mengalami banyak kekeliruan dalam meriwayatkan hadits ditolak periwayatannya meskipun ia seorang yang bersifat ‘adil. Menurut mereka seorang perawi yang banyak kekeliruan atau kerancuannya bukan termasuk orang yang memnuhi standar sebagai perawi hadits, karena ia sangat rendah kualitas kedabitannya.alasan mereka bahwa ghulatnya atau rendahnya hafalan seorang perawi merupakan cacat yang memengaruhi kredibilitas maupun status seorang perawi. Sehingga seorang perawi yang dapat diterima periwayatan haditsnya, hanya mereka yang sempurna kedabitannya dan sedikit kesalahannya. Perkembangan selanjutnya yang dibangun oleh para ulama, terutama oleh ahli hadits adalah metode komparasi, untuk menentukan standarisasi diterima atau ditolak.
Periwayatan hadits atas dasar kedabitan perawi sebagai berikut:
1) Seorang perawi yang memiliki hafalan disamping kitabah dan dapat memelihara secara otentis sehingga ia menyampaikan kepada orang lain, maka status perawi dan haditsnya adalah berada pada posisi yang paling atas. Hadits yang diriwayatkan dari perawi ini merupakan hujjah, tidak diperlukan komparasi dengan periwayatan dari perawi yang lebih kuat
2) Perawi yang memiliki hafalan disamping catatan, tetap diketahui adanya perbedaaan diantaranya, dikalangan ulama hadits ber-hujjah berdasarkan kitabahnya(catatn) sebab catatan merupakan penguat bagi hafalan seorang perawi yang terpelihara, seperti yang dipegangi ibn al-mubarak, ahmad bin hambal, abdulllah bin zubair al-humaidi, yahya bin ma’in abdul rahman al-mahdi, ibnu juraij, abu dawud dan ibnu sinan
Teori komparasi yang dimaksud sebagai metode standarisasi kedabitan perawi, adalah penyesuaian atau perbandingan periwayatan seorang perawi dengan perawi lain yang lebih dabit tentang hadits yang sama atau perawi yang memiliki kedabitan baik dan tidak melakukan kesalahan atau pelupa dalam meriwayatkan sunnah rosul. Prinsip standarisasi kedabitan perawi secara operasional adalah memiliki fungsi yang sangat fundamental. Lebih dari itu hal ini dikembangkan sebagai teori pengklasifikasian nilai – terutama ulama hadits, - juga sebagai teori pentarjihan dalil as-sunnah dalam permasalahan ta’arud al adillat. Secara institusional bahwa prinsip ini sangat dipengaruhi oleh kondisi social komunitas muslim, sejak masa sahabat sampai dibakukannya prinsip tersebut dalam sistem kritik hadits. Nuansa politik yang dialami oleh tokoh-tokoh termasuk para ulama, dan aktifitas gerakan kaum zindiq, tidak ketinggalan juga yakni kaum non muslim, tidak sedikit yang ikut andil memainkan peranan as-sunnah sebagai dasar dijadikan hujjah oleh kaum muslimin, untuk menjalankan agama dan syariatnya Oleh karenanya, antisipasi terhadap nuansa demikian itu melahirkan dan menjadikan pemberlakuan adanya dasar yang dapat mensterilkan as-sunnah pada sifat otentitsnya. Sebab keterlibatan pihak-pihak yang tidak memiliki kapasitas di bidang periwayatan hadits, lebih dari itu adalah oknum-oknum non muslim dalam realitas social telah menciptakan suatu kondisi negative terhadap sosialisasi as-sunnah, sangatlah merisaukan bahkan mengancam kedudukan as-sunnah sebagai dasar agama dan syariahnya. Sebagaimana dapat dikaji dalam persoalan pemalsuan hadits, dan pada sisi lain adalah pemutarbalikan ajaran-ajaran as-sunnah untk tujuan yang tidak proporsional. Sehingga secara social keagamaan dapat ditemukan adanya elemen yang menguatkan, bahwa dasar kedabitan merupakan hal penting dalam penyebarluasan, dan sosialisasi ajaran as-sunnah.
4) Perawi tidak shadh/shududh (janggal)
Kata al-shudud secara etimologi berarti janggal atau ganjil. Secara terminology kata ini hanya dipakai dalam hal periwayatan hadits, dengan beberapa rumusan batasannya(definisi), sejalan dengan perkembangan kajian hadits. Tetapi antara satu definisi dengan lainnya terdapat unsure dasar yang sama, meskipun rumusan atas dasar konteks yang berbeda menurut interpretasi kajian ilmu ini, diantaranya adalah:
1. Imam syafi’I sebagai perumus awal mengatakan bahwa yang dimaksud shadh adalah suatu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi thiqah beda dengan periwayatan orang kebanyakan - yang memiliki kredibilitas lebih thiqah
2. Menurut ibnu qayyim al-jawziyah, bahwa pengertian al-shududh adalah periwayatan hadits yang tidak bertentangan dengan periwayatan lain yang lebih thqah. Jika perawi thiqah meriwayatkan secara sendirian, tidak ditemukan riwayat lain yang dapat dikategorikan shadh.
Prinsip ini digunakan sebagai langkah komprehensif dalam kajian hadits, yaitu langkah komparasi antara satu riwayat dengan riwayat lain. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahahui akurasi dan otentitas periwayatan, dari perawi yang lain. Meskipun pencarian dalam hal ini sangat sulit, namun para ulama membakukannya sebagai prinsip dasar diterima atau ditolaknya suatu periwayatan. Sebab dengan metode komparasi ini tidak hanya dapat diketahui kredibilitas perawi maupun materi periwayatannya, namun juga kehujjahan sumber syariah dan ajaran yang disebutkan dalam materi periwayatannya.
Kejanggalan shududh al-ririwayah sangat dipengaruhi oleh aspek eksternal riwayat, daripada internal. Seperti keadilan seorang perawi dapat memengaruhi motivasi periwayatan dari seseorang, di samping emosi psikis atau mental perawi, sebagaiman diungkap dalam dasar keadilan. Sedang pengaruh keabitan dan kecerdasan seorang perawi dapat mewarna sifat dan kualitas periwayatannya. Bahwa perawi yang memiliki kedabitan sempurna, ia mampu mengetahui kebenaran apa yang diriwayatkan dari berbagai kekeliruan dan kesalahan, baik makna maupun redaksinya. Dengan latar belakang tersbut jumhur ulama menetapkan sebagai prinsip atau syarat untuk menentukan ditolak atau diterimannya suatu periwayatan hadits. Bahkan generasi sesudah imam syafi’I membakukannya sebagai persyaratan utama dalam menentukan kelas kehujjahan suatu hadits.
5) Perawi tidak ‘illat(cacat)
Secara etimologi kata al-‘illat berarti penyakit ‘aib(cacat) dan secara terminology (menurut ulama hadits) adalah suatu sebab yang menjadikan cacatnya hadits dan kesahihannya.
Para ulama hadits mengklasifikasikan ‘illat hadits menjadi tiga bagian yaitu :
1.Sanad
2.Matan
3.Sanad juga matan
Kenyataan yang ditemukan para ulama memberi petunjuk untuk menemukan otentitas sebuah hadits. Dalam hal ini para ahli hadits – yang banyak mengkaji otentitas hadits – sangat menekankan pada prinsip ini, sementara para ulama usul sangat menekankan pada persoalan dalil as-sunnah secara materi. Menurutnya bahwa ‘illat yang terdapat pada hadit, semata kehujjahannya, bahkan hanya pada kesahihannya. Tetapi jika hadits ghayru al-qadihah itu dimungkinkan untuk dikompromikan maka tidak menutup untuk menjadikan pada nilai shahih dapat dijadikan hujjah.

HADITS DHA'IF DAN MACAMNYA

HADITS DHA’IF DAN MACAMNYA Hadits dhaif Hadits dhaif ialah hadits yang tidak terkumpul didalamnya sifat-sifat hadits shahih dan hasan. Hadits dhaif dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian berdasarkan kedaifannya yaitu : 1. Daif disebabkan terputusnya sanad atau tidak muttasil(bersambung) sanadnya dan 2. Selain terputusnya sanad atau tidak muttasil A. Daif disebabkan terputusnya sanad(sanad tidak muttasil) 1. Hadits Mursal 2. Hadits munqathi’ 3. Hadits mu’dal 4. Hadits mudallas 5. Hadits muallal B. Daif disebabkan selain terputusnya sanad 1. Hadits muda’af 2. Hadits mudtarib 3. Hadits maqlub 4. Hadits shadh 5. Hadits munkar 6. Hadits matruk A. Daif disebabkan teruputusnya sanad(tidak muttasil) 1. Hadits mursal Mursal menurut bahasa berarti “yang dikirim,diutus dan yang dilepaskan” menurut istilah “hadits yang diriwayatkan oleh tabi’i kecil maupun besar, dari nabi SAW, dengan tidak menyebut siapa yang menceritakan (menyampaikan) hadits kepadanya” Dihukumi mursal karena yang meriwayatkan hadits menyaksikan(melihat) nabi, namun masih belum baligh, seperti Muhammad bi abubakr. Meskipun beliau digolongkan kedalam sahabat,namun riwayatnya dihukumi mursal. Sedangkan orang yang mendengar hadits nabi sebelum islam, kemudian ia masuk islam sesudah nabi wafat seperti tinnukhi utusan hiraklius, walaupun dia sebagai tabi’i kecil, namun haditsnya menjadi muttasil. Hadits mursal menurut ulama fiqh dan usul adalah hadits yang perawinya melepaskannnya tanpa menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkan hadits. Ahli hadits mempunyai dua pendapat mengenai hadits mursal yaitu: 1.mursal sahabi, ahli hadits berpendapat bahwa yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat kecil, seperti ibn abbas dan sebagainya yang tidak mereka dengar atau tidak mereka saksikan langsung dari nabi,tetapi mereka meriwayatkan sahabat lain dari nabi, dikatakan mursal jika mereka tidak menyebutkan perawi-perawi yang mereka ambil riwayatnya. Ahli hadits menilai bahwa mursal sahabi dihukumi mawsul(bersambung). Sebab terkadang sebagian sahabat meriwayatkan dari sebagian yang lain. 2. Mursal khafi adalah hadits diriwayatkan oleh seorang dari seorang yang satu generasi dengan dia, tetapi tidak pernah saling berjumpa, ada diantara keduanya perantara dan diriwayatkan secara langsung. Dan bisa disebut mursal khafi apabila perawi itu tidak menjumpai gurunya(orang yang member hadits kepadanya) walaupun satu generasi, ataupun tidak mendengar hadits tersebut dari gurunya sama sekali. Berhujjah dengan hadits mursal Kurang lebih ada sepuluh pendapat dikalangan ulama hadits tentang hadits mursal, namun yang terpopuler ada tiga pendapat, yaitu: 1. Boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak. Hal ini menurut imam abu hanifa, imam malik, menurut suatu riwayat imam ahmad dan sejumlah ulama hadits lainnya. 2. Tidak boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak. Ini merupakan pendapat imam nawawi dari mayoritas ahli hadits, imam syafi’I dan sejumlah besar ahli fiqh dan ahli usul. Imam muslim mengatakan bahwa riwayat-riwayat mursal menurut sumber pendapat kami dan pendapat ahli hadits,tidak bisa dijaikan hujjah. 3. Bisa dijadikan sebagai hujjah bila ada yang menguatkannya. Misalnya dari jalur lain hadits tersebut diriwayatkan secara musnad ataupun mursal, atau diamalkan oleh sebagian sahabat ataupun oleh mayoritas ahli ilmu Imam as-suyuti dakam tadrib ar-rawi mengatakan : “Dalam sahih bukhari dan sahih muslim terdapat banyak hadits mursal sahabi. Karena kebanyakan riwayat-riwayatnya bersumber pada sahabat. Mereka semua dikenal adil. Riwayat dari selain mereka(sahabat)adalah langkah. Kalaupun mereka meriwayatkan dari selain sahabat,mereka tentu menjelaskannya. Justru kebanyakan hadits yang mereka riwayatkan dari tabi’in bukan hadits marfu’, melainkan dongeng-dongeng israiliyat. Kisah-kisah atau hadits mauquf” Sulit mengingkari mursal sahabi kaena kebanyakan riwayat yang bersumber dari ibn abbas adalah mursal, karena usianya masi sangat muda pada masa hidup Rosulullah. Usianya tidak lebih dari 13 tahun ketika Rosulullah wafat. 2. Hadits munqati’ Munqati’ menurut bahasa berarti “yang putus,tertahan,yang telah kering”. Menurut ulama hadits ialah: “hadits yang telah gugur dari perawinya seorang dari sanad sebelum sahabi, atau telah gugur dua orang perawi dengan syarat tidak berurutan” Hadits munqati’ adalah hadits yang dalam sanadnya gugur seorang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham(tidak jelas). Dari gugurnya seorang perawi, ia sama dengan hadits mursal. Hanya saja kalua hadits mursal gugurnya perawi dibatasi pada tingkatan sahabat, sementara dalam hadits munqati’tidak ada batasan. Jadi setiap hadits yang dari sanadnya gugur seorang perawi, baik diawal,ditengah maupun di akhir, disebut munqati’. Dengan demikian, hadits mursal dalam salah satu bentuk hadits munqati’ 3. Hadits mu’dal Mu’dal menurut bahasa yaitu sesuatu yang sulit dicari, yang sulit dipahami. Menurut ulama hadits, hadits mu’dal adalah hadits yang sandanya gugur dua atau lebih perawinya secara berurutan. Hadits mu;dal ini lebih rumit dan tidak jelas dibandingkan dengan hadits munqati’. Dari pemahaman ini muncullah mu’dal(sulit dipahami dan membingungkan) Al-Nawawi dalam At-Taqrib mengatakan “apabila seorang tabi’it al-tabi’I meriwayatkan hadits dari tabi’ dan berhenti pada tabi’i. sedang hadits tersebut di sisi tabi’I marfu’ muttasil(bersambung sandnya), maka hadits itu kedudukannya mu’dal. 4. Hadits mudallas Kata tadlis secara bahsa dari kata al-dalas yang berarti kezaliman atau kegelapan. Menurut istilah adalah : ”yang disembunyikan cacatnya yakni yang diriwayatkan dengan cara menghilangkan cacat yang menimbulkan persangkaan bahwa hadits tersebut tidak cacat”. Tadlis sendiri ada dua macam, yaitu tadlis al-isnad dan tadlis shuyukh • Tadlis al-isnad Adalah hadits yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang semasa dengannya dan ia bertemu sendiri dengan orang itu, meskipun ia tidak nisa mendengar langsung darinya, atau dari orang yang semasa dengannya, tetapi tidak pernah bertemu, dan memberikan gambaran bahwa ia mendengar langsung dari orang tersebut Seandaninya berkenaan dengan hadits yang tidak didengar langsung, seorang berkata : “ telah meriwayatkan kepadaku”, “saya mendengar” atau yang sejenisnya, maka hal itu adalah dusta. Karena ia menceritakan mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ia dengar langsung, danberitanya jelas ditolak. Ulama telah mengecam tadlis al-isnad dan sangat tidak suka dengan perawi-perawi yang melakukan tadlis. Shu;bah bin al-Hajjaj termasuk orang yang paling membenci hal itu. Sampai-sampai beliau mengatakan: “ sungguh seandainya aku berbuat zina, lebih saya sukai daripada saya melakukan tadlis” yang menandakan betapa keji dan buruknya perbuatan tadlis. Ada tiga pendapat dkalangan ulama tentang hukum tadlis; • Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang diketahui melakukan tadlis, maka ia menjadi majruh (orang yang tercacat) dan tertolak riwayatnya secara mutlak. Meskipun ia menjelaskan al-sima’, dan tadls yang dilakukannya diketahui hanya sekali saja. • Sebagian lagi mengatakan bahwa hadits mudallas bisa diterima, karena tadlis samadengan irsal. Alas an inilah yang diikuti oleh sebagian bsar mereka yang menerima hadits mudallas, termasuk disalamnya kaum zaidiyah. • Sebagian lain mengatakan bahwa ditolak setiap hadits yang mengandung tadlis. Sedangkan hadits- hadits yang lain tidak mengandung tadlis yang dapat diterima. Orang yang diketahui melakukan tadlis meski hanya sekali pada riwayat yang menggunakan kata yang mengandung kemungkinan al-sima’ secara langsung tidak diterima. Sementara untuk hadits yang ia kabarkan dengan menggunakan kata sami’tu, haddatsana, akhbarana atau yang sejenis, bisa diterima dan bisa dijadikan hujjah selama memenuhi syarat-syarat diterima ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan termasuk imam syafi’I. apabila pelaku tadlis menggugugrka seoarng perawi daif dari sanad karena kesengajaanya berbuat dusta, padahal ia mengetahui kedaifan dan kesengajaan perawi itu dalam berbuat dusta, maka tidak diragukan lagi kecacatannya. Karena ia menyembunyikan terhadap orang-orang urusan agama mereka dan mengelabui mereka akan kesahihan sesuatu yang diketahuinya dusta. • Tadlis As-Suyukh Disini tadlis as-suyukh lebih ringan daripada tadlis al-isnad. Karena perawi tidak sengaja menggugurkan salah seorang dari sanad dan tidak sengaja pula menyamarkan dan tidak mendengar langsung. Perawi hanya menyebut gurunya, member kun-yah(nama julukan atau member nisbat) atau memberikan sifat yang tidak lazim dikenal. Salah satu contoh : bila sesorang mengatakan “orang yang sangat alim lagi teguh pendiriannya menceritakan kepadaku” atau “ia menceritakan kepadaku,hafalannya sangat kuat” Hukum mengunakan tadlis as-suyukh adalah makruh menurut ulama hadits, karena mengandung kerumitan bagi oendengar untuk mengecek sanadnya atau mengecek guru-gurunya. Ini jelas mengakibatkan penyia-nyiaan atas diri orang yang diambil riwayatnya, disamping atas diri yang diriwayatkan. Sebab ketika ia menyebut gurunya dengan sebutan yang tidak dikenal, maka mengakibatkan statusnya majhul. Kadang-kadang sewaktu melakukan pengecekan, pendengaran tidak mengenalinya, sehingga statusna majhl yang mengakibatka riwayatnya tidak diperhitungkan. Kemakruhan itu berbeda-beda, tergantung factor yang mendorong seseorang untuk melakukannya. Yang terburuk adalah disebabkan kelemahan gurunya malakukan tadlis sehingga riwayatnya tidak Nampak berasal dari perawi-perawi lemah. Ini jelas tidak dierbolehkan secara mutlak, kerena mengandung penipuan dan pengelabuan. Terkadang dikarenakan gurunya paling akhir meninggal, di muka ada beberapa perawi lain yang lebih rendah darinya mendengar riwayat dari guru tersebu, dan gurunya usianya lebih muda, hadits yang diriwayatkan dari gurunya itu banyak sehingga ia tidak ingin menyebutkan hadits secara langsung dari guru itu, atau ada sebab lain. Tadlis al-bilad juga makruh, karena ada penyembunyian perjalanan ilmiah dalam rangka menuntut hadits, hanya saja. Jika ada alas an yang mengindikasikan tidak adanya tujuan itu, maka tidak ada kemakruhan. 5. Hadits mu’allal Adalah hadits yang terungkap mengandung cacat yang menodai kesahihannya, meskipun sepintas tampak bebas dari cacat. Menemukan illat(cacat) hadits ini membutuhkan pengetahuan yang luas, ingatan yang kuat dan pemahaman yang cermat. Sebab, cacat itu sendiri sifatnya samar dan tersembunyi, bahkan bagi orang yang menekuni ilmu hadits. Ibnu hajar berkata : “menemukan cacat ini termasuk bagian ilmu hadits yang lain samar dan paling rumit. Yang bisa melaksanakannnya hanyalah orang yang oleh Allah diberi pemahaman yang tajam, pengetahuna yang sempurna terhadap urutan-urutan perawi, dan kemampuan yang kuat terhadap beberapa sanad dan matan.” Ulama hadits yang ahli dalam bidang ini benar-benar mengandalkan semacam ilham yang dikaruniakan Allah untuk mengetahui salah satu cacat yang tersembunyi. Hal ini tidak aneh. Karena pengetahuan tentang hadits bukanlah sekedar hafalan lisan, melainkan ilmu yang diberitahukandan dimasukkan oleh Allah dalam hati. B. Daif disebabkan selain terputusnya sanad 1) Hadits Muda’af Muda’af menurut bahasa berarti “yang dilipatgandakan” atau “yang dilemahkan”. Menurut istilah ahli hadits adalah: “hadits yang tidak disepakati keda’ifannya, didalam sanad atau matannya ada yang dipandang lemah oleh sebagian ulama dan dipandang waktu oleh sebagian yang lain” Sebagian ahli hadits menilainya mengandulng kelemahan, baik didalam sanad atau dalam matannya, dan sebagian yang lain menilainya kuat. Akan tetapi penilaian kelemahan itu lebih kuat, bukannay lebih lemah. Atau tidak ada yang lebih kuat antara penilaian yang lemahdan penilaian yang kuat. Karena tidak ada istilah muda’af untuk hadits yang niainya lebih kuat. Dengan demikian hadits muda’af dianggap sebagai hadits lemah yang paling tinggi tingkatannya. 2) Hadits mudtarib Mudtarib menurut bahasa, berarti : “yang kacau dan tidak ada ketentuan” menurut istilah ulama hadits adalah: “hadits yang diriwayatkan dengan beberapa cara yang berlainan, yang satu menolak yang lain, sedang ia serupa perbedaaannya, dalam arti salahsatunya tidak kuat dengan yang lain, dan tidak mungkin disatukan antara perawi yang satu dengan perawi yang lain. Karena sesekali ia meriwayatkan dengan cara yang berlainan dengan yang pertama atau diriwayatkan oleh lebih dari seorang dan terjadi perbedaan perbedaan antara dua orang perawi,atau lebih”. Sebagian pendapat lain mendefinisikan bahwa hadits mudtarib adalah hadits yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling bertentangan., yang tidak mungkin mentarjihkannya bagiannya dengan bagian yang lain, baik perawinya satu atau lebih. Apabila salah satunya bisa ditarjihkan dengan salah satu alasan tarjih, contoh, perawinya lebih hafal atau lebih sering bergaul dengan perawi sebelumnya(guru), maka penilaian diberikan kepada yang lebih rajih. Dan dalam kondisi seperti ini tidak lahi menggunakan istilah mudtarib, baik untuk rajih maupun yang marjuh. Terkadang kemudtariban terjadi pada satu perawi, seperti pada beberapa perawi. Terjadi pada sanad, seperti halnya pada matan, dan bahkan pada sanad dan matan. Kemudtariban mengakibatkan kelemahan suatu hadits, karena menunjukan ketidakdabitan. Padahal kedabitan adalah syarat kesahihan dan kehasanan, kecuali dalam suatu keadaan. Yaitu apabila terjadi perbedaan mengenai nama seorang perawi atau nama ayahnya, atau nama samarannya. Dan perawi yang diperdebatkan namanya itu berkualitas kuat hafalannya, sehingga haditsnya tetap dihukumi sahih, sesuai dengan pemenuhan terhadap syarat masing-masing. Dan kemudtariban seperti itu tidak berpengaruh, meski tetap disebut hadits mudtarib. Idtirab(kekacauan,tidak menentu) biasanya terjadi pada sanad. Terkadang pada matan, tetapi jarang terjadi seorang ahli hadits menetapkan idtirab pada matan saja tanpa sanad. 3) Hadits maqlub Maqlub menurut bahasa berarti sesuatu yang diputarbalikan atau mengalami pemutarbalikan. Menurut ulama hadits ialah: “sesuatu yang tertukar pada seoran perawi, sebagian matannya atau nama seorang perawi dalam sanadnya atau sanad untuk matan yang lain” Sebagian yang lain mendefinisikan hadits maqlub adalah hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri perawi mengenai matannya, nama salah satu perawi dalam sanadnya atau suatu sanad untuk matan lainnya. Pernah terjadi seorang pearwi sengaja memutarbalikkan dengan tujuan menunjukkan keanehan dengan harapan orang-orang akan lebih tertarik meriwayatkan dirinya . ini jelas haram oleh ulama ahli hadits. Sama halnya dengan sebagian pemalsu hadits membalikkan sebagian hadits, dengan cara mengganti seorang perawi yang mashyur dengan perawi lain yang masih dalam tingkatan yang sama. Atau menemukan sanad yang kuat dengan matan yang lemah. Sebagian ulama menyebut hal ini dengan sebutan al-murakkab. Semua yang memiliki unsur kesengajaan dari jenis ini tidak diperbolehkan secara mutlak. Terkadang sebagian ulama sengaja membalikkan beberapa hadits dengan tujuan menguji kredibillitas orang lain mengenai ilmu hadits, seperti yang mereka lakukan terhadap imam bukhari di Baghdad, yang akhirnya mereka dapat mengetahui posisi dan kualitasnya. Sebab tidak ada yang mengetahui hadits maqlub kecuali yang memiliki ilmu luas, hafalan yang kuat dan pemahaman yang mendalam. Jenis seperti ini dengan syarat untuk tujuan mengui. Namun sebagian ulama melarang murid-murid mereka membalikkan hadits dihadapan para guru. Keterbalikan yang terjadi pada diri seorang perawi karena lupa, bukan karena tujuan menguji orang lain menjadikannya lemah karena kelemahannya hafalannya , bila hal itu diketahui atau karena seringnya hal itu terjadi pada dirinya. Oleh sebab itu munculnya kedaifan hadits maqlub adalah rendahnya daya hafal pada perawi itu sendiri. 4) Hadits shadh Menurut al-hafiz ibn hajar ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam shadh yaitu penyendirian dan perlawanan, ialah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang terpercaya, atau dengan kata lain, hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dapat diterima, berlawwanan dengan orang yang lebih utama darinya. Imam syafi’I memperkenalkan hadits jenis ini, beliau menyatakan bahwa hadits shad bukanlah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang terpercaya yang berlawanan dengan riwayat banyak orang yang juga terpercaya. Kemudian generasi setelah imam syafi;I sepakat bahwa hadits shadh adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi maqbbul bersebrangan dengan perawi lain yang lebih kuat darinya. Al-hakim berpendapat, bahwa yang dimaksud hadits shadh ialah hadits yang diriwayatkan sendiri oleh salah seorang perawi yang terpercaya dan hadits itu tidak mempunyai muttabi’(jalur lain) yang menguatkan perawi terpercaya. Al-hakim menyampaikan pengertian kesendirian dengan lafaz yang jelas. Sedangkan pengertian “berlawanan” memiliki pengertian lafaz yang tidak jelas. Seandainya mempunyai muttabi’ yang menguatkan perawi terpercaya, tentu ia tidak bertentangan dengan perawi terpercaya yang lain. Perlu diketahui bahwa dalam hadits shad ini al-hakim member syarat tidak adanya muttabi’(jalur lain). 5) Hadits munkar Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi da’if(lemah) yang berlawanan dengan perawi-perawi thiqah(terpercaya). Oleh karena itu, criteria hadits munkar adalah penyendirian perawi da’if dan mukhalafah. Seandainya ada seorang perawi da’if melakukan penyendirian dalam meriwayatkan sebuah hadits, tidak mmenyimpang dari perawi-perawi lain yang terpercaya, maka haditsnya tidak munkar, tetapi da’if. Jika haditsnya bertentangan dengan hadits perawi thiqah(terpercaya)maka yang rajih disebut ma’ruf, sedangkan yang marjuh itulah yang disebut munkar. Dengan demikian, hadits shadh dan munkar sama-sama memiliki criteria mukhalafah. Bedanya pada hadits shadh, perawinya thiqah atau saduq, sementara pada hadits munkar perawinya da’if. 6) Hadits matruk Menurut istilah ahli hadits, hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tertuduh dusta dalam haditsnya atau menampakkan kefasikan dengan perbuatan atau ucapan atau sering salah dan lupa. C. Kehujjahan Hadits Dhaif Berhujjah dengan hadits daif menurut pendapat ulama hadits adalah sebagai berikut: i. Hadits daif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenal fada’il al-a’mal maupun hukum. Ini pendapat yahya bin ma’in. dan pendapat ini disukung oleh ibn al-farabi, nampaknya juga pendapat imam bukhari, imam muslim, imam muslim dan ibn hazm. ii. Hadits da’if bisa diamalkan secara mutlak. Pendapat ini didukung oleh abu dawud dan imam ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadits daif lebi kuat daripada ra’yu perorangan. Menurut ibnu qayyim al-jawziyah didalam ushul fatawiy imam ahmad disebutkan, bahwa hadits mursal dan daif bisa dijadikan hujjah, jika dalam bab itutidak ada hadits lain yang menolaknya. Inilah yang beliau tarjihkan dengan qiyas. Ibnul qayyim menyatakan “tidaklah yang beliau maksudkan hadits hasan adalah yang batil, juga bukan yang munkar, dan bukan riwayat yang mengandung perawi yang tertuduh dusta sekiranya dilarang dijadikan hujjah dan mengamalkannya, tetapi hadits dha’if menurut beliau adalah lawan dari hadits shahih yang merupakan bagian dari hadits hasan. Beliau tidak membagi hadits menjadi,hasan,shahih dan da’if tetapi menjadi shahih dan da’if. Yang da;if menurut beliau memiliki beberpa tingkatan. Dan bila dalam bab tersebut tidak ada atsar yang menolaknya, atau pendapat seorang sahabat ataupun ijma’ yang berbeda dengannya, maka mengamalkannya lebih utama daripada qiyas. iii. Hadits da’if bisa diamalkan dalam masalah fada’il al- ‘amal, atau yang sejenis jika memenuhi syarat. Ibnu hajar menyebutkan syarat sebagai berikut: a) Keda’ifannya tidak terlalu,sehingga tidak tercakup didalamnya seorang pendusta, atau yang tertuduh dusta yang melakukan penyendirian, juga orang yang terlal sering melakukan kesalahan. Al-ala’iy meriwayatkan kesepakatan ulama menhgenai syarat ini. b) Hadits da’if masuk dalam cakupan hadits pokok yang bisa diamalkan. c) Ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus kuat, tapi sekedar hati-hati

Minggu, 18 Maret 2012

Lebih dari sekedar teman or sahabat



with temen seperjuangan :)


temen-temen santri TPQ AL-Hasyimi II

meski santri tapi tetep narsis juga donk.. :)

Senin, 02 Januari 2012

Sifat huruf hijaiyah II

setelah kita mempelajari sifatul huruf yang berlawanan,
sekarang berlanjut ke materi sifatul huruf yang tidak berlawanan,
terdiri dari
1.As-Shofir
2.Al-qalqalah
3.Al-layyin
4.Al-inkhiraf
5.At-Takrir
6.At-Tafassyi
7.Al-isthitolah

1.As-Shofir(ada suara seperti seruit)

hurufnya terdiri dari za' sin dan shod

jadi ketika membaca ketiga huruf tersebut,pengucapannya ada suara seperti seruit,(bersiul)

2.al-Qalqalah (makhrajnya berguncang)

hurufnya terdiri dari qaf tha' ba' jim dan dal

jadi ketika membaca huruf tersebut,makhraj agak dipantulkan/digetarkan

3.Al-Layyin (lunak)

hurufnya waw atau ya' sukun jatuh setelah fathah
contoh : laula, layla

4.Al-Inkhiraf (makhraj condong ke makhraj lain)

hurufnya lam + ra'
huruf lam condong ke huruf ra'
huruf ra' condong ke huruf lam

5.At-Takrir
ujung lidah bergetar dua kali dan ketika bertasydid bergetar empat kali tetapi disamarkan

Adapun hurufnya cuman satu,ialah ra'

6.At-Tafassyi (anginnya memenuhi rongga mulut)

hurufnya terdiri dari syin

7.Al-istithalah
makhrajnya memanjang sepanjang tepi lidah dan gigi geraham

hurufnya terdiri dari dhod

demikian ringkasan mengenai sifarul huruf,
semoga bermanfaat,,:)

(kalau ada yang kurang jelas,mohon tinggalkan komentar anda,insyaAllah akan kami jawab) :)