salam :)

assalamu'laikum welcome to my blog, semoga bermanfaat jangan lupa oleh-oleh komentar dari kalian semua,, terima kasih :)

Selasa, 06 November 2012

HADITS DHA'IF DAN MACAMNYA

HADITS DHA’IF DAN MACAMNYA Hadits dhaif Hadits dhaif ialah hadits yang tidak terkumpul didalamnya sifat-sifat hadits shahih dan hasan. Hadits dhaif dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian berdasarkan kedaifannya yaitu : 1. Daif disebabkan terputusnya sanad atau tidak muttasil(bersambung) sanadnya dan 2. Selain terputusnya sanad atau tidak muttasil A. Daif disebabkan terputusnya sanad(sanad tidak muttasil) 1. Hadits Mursal 2. Hadits munqathi’ 3. Hadits mu’dal 4. Hadits mudallas 5. Hadits muallal B. Daif disebabkan selain terputusnya sanad 1. Hadits muda’af 2. Hadits mudtarib 3. Hadits maqlub 4. Hadits shadh 5. Hadits munkar 6. Hadits matruk A. Daif disebabkan teruputusnya sanad(tidak muttasil) 1. Hadits mursal Mursal menurut bahasa berarti “yang dikirim,diutus dan yang dilepaskan” menurut istilah “hadits yang diriwayatkan oleh tabi’i kecil maupun besar, dari nabi SAW, dengan tidak menyebut siapa yang menceritakan (menyampaikan) hadits kepadanya” Dihukumi mursal karena yang meriwayatkan hadits menyaksikan(melihat) nabi, namun masih belum baligh, seperti Muhammad bi abubakr. Meskipun beliau digolongkan kedalam sahabat,namun riwayatnya dihukumi mursal. Sedangkan orang yang mendengar hadits nabi sebelum islam, kemudian ia masuk islam sesudah nabi wafat seperti tinnukhi utusan hiraklius, walaupun dia sebagai tabi’i kecil, namun haditsnya menjadi muttasil. Hadits mursal menurut ulama fiqh dan usul adalah hadits yang perawinya melepaskannnya tanpa menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkan hadits. Ahli hadits mempunyai dua pendapat mengenai hadits mursal yaitu: 1.mursal sahabi, ahli hadits berpendapat bahwa yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat kecil, seperti ibn abbas dan sebagainya yang tidak mereka dengar atau tidak mereka saksikan langsung dari nabi,tetapi mereka meriwayatkan sahabat lain dari nabi, dikatakan mursal jika mereka tidak menyebutkan perawi-perawi yang mereka ambil riwayatnya. Ahli hadits menilai bahwa mursal sahabi dihukumi mawsul(bersambung). Sebab terkadang sebagian sahabat meriwayatkan dari sebagian yang lain. 2. Mursal khafi adalah hadits diriwayatkan oleh seorang dari seorang yang satu generasi dengan dia, tetapi tidak pernah saling berjumpa, ada diantara keduanya perantara dan diriwayatkan secara langsung. Dan bisa disebut mursal khafi apabila perawi itu tidak menjumpai gurunya(orang yang member hadits kepadanya) walaupun satu generasi, ataupun tidak mendengar hadits tersebut dari gurunya sama sekali. Berhujjah dengan hadits mursal Kurang lebih ada sepuluh pendapat dikalangan ulama hadits tentang hadits mursal, namun yang terpopuler ada tiga pendapat, yaitu: 1. Boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak. Hal ini menurut imam abu hanifa, imam malik, menurut suatu riwayat imam ahmad dan sejumlah ulama hadits lainnya. 2. Tidak boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak. Ini merupakan pendapat imam nawawi dari mayoritas ahli hadits, imam syafi’I dan sejumlah besar ahli fiqh dan ahli usul. Imam muslim mengatakan bahwa riwayat-riwayat mursal menurut sumber pendapat kami dan pendapat ahli hadits,tidak bisa dijaikan hujjah. 3. Bisa dijadikan sebagai hujjah bila ada yang menguatkannya. Misalnya dari jalur lain hadits tersebut diriwayatkan secara musnad ataupun mursal, atau diamalkan oleh sebagian sahabat ataupun oleh mayoritas ahli ilmu Imam as-suyuti dakam tadrib ar-rawi mengatakan : “Dalam sahih bukhari dan sahih muslim terdapat banyak hadits mursal sahabi. Karena kebanyakan riwayat-riwayatnya bersumber pada sahabat. Mereka semua dikenal adil. Riwayat dari selain mereka(sahabat)adalah langkah. Kalaupun mereka meriwayatkan dari selain sahabat,mereka tentu menjelaskannya. Justru kebanyakan hadits yang mereka riwayatkan dari tabi’in bukan hadits marfu’, melainkan dongeng-dongeng israiliyat. Kisah-kisah atau hadits mauquf” Sulit mengingkari mursal sahabi kaena kebanyakan riwayat yang bersumber dari ibn abbas adalah mursal, karena usianya masi sangat muda pada masa hidup Rosulullah. Usianya tidak lebih dari 13 tahun ketika Rosulullah wafat. 2. Hadits munqati’ Munqati’ menurut bahasa berarti “yang putus,tertahan,yang telah kering”. Menurut ulama hadits ialah: “hadits yang telah gugur dari perawinya seorang dari sanad sebelum sahabi, atau telah gugur dua orang perawi dengan syarat tidak berurutan” Hadits munqati’ adalah hadits yang dalam sanadnya gugur seorang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham(tidak jelas). Dari gugurnya seorang perawi, ia sama dengan hadits mursal. Hanya saja kalua hadits mursal gugurnya perawi dibatasi pada tingkatan sahabat, sementara dalam hadits munqati’tidak ada batasan. Jadi setiap hadits yang dari sanadnya gugur seorang perawi, baik diawal,ditengah maupun di akhir, disebut munqati’. Dengan demikian, hadits mursal dalam salah satu bentuk hadits munqati’ 3. Hadits mu’dal Mu’dal menurut bahasa yaitu sesuatu yang sulit dicari, yang sulit dipahami. Menurut ulama hadits, hadits mu’dal adalah hadits yang sandanya gugur dua atau lebih perawinya secara berurutan. Hadits mu;dal ini lebih rumit dan tidak jelas dibandingkan dengan hadits munqati’. Dari pemahaman ini muncullah mu’dal(sulit dipahami dan membingungkan) Al-Nawawi dalam At-Taqrib mengatakan “apabila seorang tabi’it al-tabi’I meriwayatkan hadits dari tabi’ dan berhenti pada tabi’i. sedang hadits tersebut di sisi tabi’I marfu’ muttasil(bersambung sandnya), maka hadits itu kedudukannya mu’dal. 4. Hadits mudallas Kata tadlis secara bahsa dari kata al-dalas yang berarti kezaliman atau kegelapan. Menurut istilah adalah : ”yang disembunyikan cacatnya yakni yang diriwayatkan dengan cara menghilangkan cacat yang menimbulkan persangkaan bahwa hadits tersebut tidak cacat”. Tadlis sendiri ada dua macam, yaitu tadlis al-isnad dan tadlis shuyukh • Tadlis al-isnad Adalah hadits yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang semasa dengannya dan ia bertemu sendiri dengan orang itu, meskipun ia tidak nisa mendengar langsung darinya, atau dari orang yang semasa dengannya, tetapi tidak pernah bertemu, dan memberikan gambaran bahwa ia mendengar langsung dari orang tersebut Seandaninya berkenaan dengan hadits yang tidak didengar langsung, seorang berkata : “ telah meriwayatkan kepadaku”, “saya mendengar” atau yang sejenisnya, maka hal itu adalah dusta. Karena ia menceritakan mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ia dengar langsung, danberitanya jelas ditolak. Ulama telah mengecam tadlis al-isnad dan sangat tidak suka dengan perawi-perawi yang melakukan tadlis. Shu;bah bin al-Hajjaj termasuk orang yang paling membenci hal itu. Sampai-sampai beliau mengatakan: “ sungguh seandainya aku berbuat zina, lebih saya sukai daripada saya melakukan tadlis” yang menandakan betapa keji dan buruknya perbuatan tadlis. Ada tiga pendapat dkalangan ulama tentang hukum tadlis; • Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang diketahui melakukan tadlis, maka ia menjadi majruh (orang yang tercacat) dan tertolak riwayatnya secara mutlak. Meskipun ia menjelaskan al-sima’, dan tadls yang dilakukannya diketahui hanya sekali saja. • Sebagian lagi mengatakan bahwa hadits mudallas bisa diterima, karena tadlis samadengan irsal. Alas an inilah yang diikuti oleh sebagian bsar mereka yang menerima hadits mudallas, termasuk disalamnya kaum zaidiyah. • Sebagian lain mengatakan bahwa ditolak setiap hadits yang mengandung tadlis. Sedangkan hadits- hadits yang lain tidak mengandung tadlis yang dapat diterima. Orang yang diketahui melakukan tadlis meski hanya sekali pada riwayat yang menggunakan kata yang mengandung kemungkinan al-sima’ secara langsung tidak diterima. Sementara untuk hadits yang ia kabarkan dengan menggunakan kata sami’tu, haddatsana, akhbarana atau yang sejenis, bisa diterima dan bisa dijadikan hujjah selama memenuhi syarat-syarat diterima ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan termasuk imam syafi’I. apabila pelaku tadlis menggugugrka seoarng perawi daif dari sanad karena kesengajaanya berbuat dusta, padahal ia mengetahui kedaifan dan kesengajaan perawi itu dalam berbuat dusta, maka tidak diragukan lagi kecacatannya. Karena ia menyembunyikan terhadap orang-orang urusan agama mereka dan mengelabui mereka akan kesahihan sesuatu yang diketahuinya dusta. • Tadlis As-Suyukh Disini tadlis as-suyukh lebih ringan daripada tadlis al-isnad. Karena perawi tidak sengaja menggugurkan salah seorang dari sanad dan tidak sengaja pula menyamarkan dan tidak mendengar langsung. Perawi hanya menyebut gurunya, member kun-yah(nama julukan atau member nisbat) atau memberikan sifat yang tidak lazim dikenal. Salah satu contoh : bila sesorang mengatakan “orang yang sangat alim lagi teguh pendiriannya menceritakan kepadaku” atau “ia menceritakan kepadaku,hafalannya sangat kuat” Hukum mengunakan tadlis as-suyukh adalah makruh menurut ulama hadits, karena mengandung kerumitan bagi oendengar untuk mengecek sanadnya atau mengecek guru-gurunya. Ini jelas mengakibatkan penyia-nyiaan atas diri orang yang diambil riwayatnya, disamping atas diri yang diriwayatkan. Sebab ketika ia menyebut gurunya dengan sebutan yang tidak dikenal, maka mengakibatkan statusnya majhul. Kadang-kadang sewaktu melakukan pengecekan, pendengaran tidak mengenalinya, sehingga statusna majhl yang mengakibatka riwayatnya tidak diperhitungkan. Kemakruhan itu berbeda-beda, tergantung factor yang mendorong seseorang untuk melakukannya. Yang terburuk adalah disebabkan kelemahan gurunya malakukan tadlis sehingga riwayatnya tidak Nampak berasal dari perawi-perawi lemah. Ini jelas tidak dierbolehkan secara mutlak, kerena mengandung penipuan dan pengelabuan. Terkadang dikarenakan gurunya paling akhir meninggal, di muka ada beberapa perawi lain yang lebih rendah darinya mendengar riwayat dari guru tersebu, dan gurunya usianya lebih muda, hadits yang diriwayatkan dari gurunya itu banyak sehingga ia tidak ingin menyebutkan hadits secara langsung dari guru itu, atau ada sebab lain. Tadlis al-bilad juga makruh, karena ada penyembunyian perjalanan ilmiah dalam rangka menuntut hadits, hanya saja. Jika ada alas an yang mengindikasikan tidak adanya tujuan itu, maka tidak ada kemakruhan. 5. Hadits mu’allal Adalah hadits yang terungkap mengandung cacat yang menodai kesahihannya, meskipun sepintas tampak bebas dari cacat. Menemukan illat(cacat) hadits ini membutuhkan pengetahuan yang luas, ingatan yang kuat dan pemahaman yang cermat. Sebab, cacat itu sendiri sifatnya samar dan tersembunyi, bahkan bagi orang yang menekuni ilmu hadits. Ibnu hajar berkata : “menemukan cacat ini termasuk bagian ilmu hadits yang lain samar dan paling rumit. Yang bisa melaksanakannnya hanyalah orang yang oleh Allah diberi pemahaman yang tajam, pengetahuna yang sempurna terhadap urutan-urutan perawi, dan kemampuan yang kuat terhadap beberapa sanad dan matan.” Ulama hadits yang ahli dalam bidang ini benar-benar mengandalkan semacam ilham yang dikaruniakan Allah untuk mengetahui salah satu cacat yang tersembunyi. Hal ini tidak aneh. Karena pengetahuan tentang hadits bukanlah sekedar hafalan lisan, melainkan ilmu yang diberitahukandan dimasukkan oleh Allah dalam hati. B. Daif disebabkan selain terputusnya sanad 1) Hadits Muda’af Muda’af menurut bahasa berarti “yang dilipatgandakan” atau “yang dilemahkan”. Menurut istilah ahli hadits adalah: “hadits yang tidak disepakati keda’ifannya, didalam sanad atau matannya ada yang dipandang lemah oleh sebagian ulama dan dipandang waktu oleh sebagian yang lain” Sebagian ahli hadits menilainya mengandulng kelemahan, baik didalam sanad atau dalam matannya, dan sebagian yang lain menilainya kuat. Akan tetapi penilaian kelemahan itu lebih kuat, bukannay lebih lemah. Atau tidak ada yang lebih kuat antara penilaian yang lemahdan penilaian yang kuat. Karena tidak ada istilah muda’af untuk hadits yang niainya lebih kuat. Dengan demikian hadits muda’af dianggap sebagai hadits lemah yang paling tinggi tingkatannya. 2) Hadits mudtarib Mudtarib menurut bahasa, berarti : “yang kacau dan tidak ada ketentuan” menurut istilah ulama hadits adalah: “hadits yang diriwayatkan dengan beberapa cara yang berlainan, yang satu menolak yang lain, sedang ia serupa perbedaaannya, dalam arti salahsatunya tidak kuat dengan yang lain, dan tidak mungkin disatukan antara perawi yang satu dengan perawi yang lain. Karena sesekali ia meriwayatkan dengan cara yang berlainan dengan yang pertama atau diriwayatkan oleh lebih dari seorang dan terjadi perbedaan perbedaan antara dua orang perawi,atau lebih”. Sebagian pendapat lain mendefinisikan bahwa hadits mudtarib adalah hadits yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling bertentangan., yang tidak mungkin mentarjihkannya bagiannya dengan bagian yang lain, baik perawinya satu atau lebih. Apabila salah satunya bisa ditarjihkan dengan salah satu alasan tarjih, contoh, perawinya lebih hafal atau lebih sering bergaul dengan perawi sebelumnya(guru), maka penilaian diberikan kepada yang lebih rajih. Dan dalam kondisi seperti ini tidak lahi menggunakan istilah mudtarib, baik untuk rajih maupun yang marjuh. Terkadang kemudtariban terjadi pada satu perawi, seperti pada beberapa perawi. Terjadi pada sanad, seperti halnya pada matan, dan bahkan pada sanad dan matan. Kemudtariban mengakibatkan kelemahan suatu hadits, karena menunjukan ketidakdabitan. Padahal kedabitan adalah syarat kesahihan dan kehasanan, kecuali dalam suatu keadaan. Yaitu apabila terjadi perbedaan mengenai nama seorang perawi atau nama ayahnya, atau nama samarannya. Dan perawi yang diperdebatkan namanya itu berkualitas kuat hafalannya, sehingga haditsnya tetap dihukumi sahih, sesuai dengan pemenuhan terhadap syarat masing-masing. Dan kemudtariban seperti itu tidak berpengaruh, meski tetap disebut hadits mudtarib. Idtirab(kekacauan,tidak menentu) biasanya terjadi pada sanad. Terkadang pada matan, tetapi jarang terjadi seorang ahli hadits menetapkan idtirab pada matan saja tanpa sanad. 3) Hadits maqlub Maqlub menurut bahasa berarti sesuatu yang diputarbalikan atau mengalami pemutarbalikan. Menurut ulama hadits ialah: “sesuatu yang tertukar pada seoran perawi, sebagian matannya atau nama seorang perawi dalam sanadnya atau sanad untuk matan yang lain” Sebagian yang lain mendefinisikan hadits maqlub adalah hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri perawi mengenai matannya, nama salah satu perawi dalam sanadnya atau suatu sanad untuk matan lainnya. Pernah terjadi seorang pearwi sengaja memutarbalikkan dengan tujuan menunjukkan keanehan dengan harapan orang-orang akan lebih tertarik meriwayatkan dirinya . ini jelas haram oleh ulama ahli hadits. Sama halnya dengan sebagian pemalsu hadits membalikkan sebagian hadits, dengan cara mengganti seorang perawi yang mashyur dengan perawi lain yang masih dalam tingkatan yang sama. Atau menemukan sanad yang kuat dengan matan yang lemah. Sebagian ulama menyebut hal ini dengan sebutan al-murakkab. Semua yang memiliki unsur kesengajaan dari jenis ini tidak diperbolehkan secara mutlak. Terkadang sebagian ulama sengaja membalikkan beberapa hadits dengan tujuan menguji kredibillitas orang lain mengenai ilmu hadits, seperti yang mereka lakukan terhadap imam bukhari di Baghdad, yang akhirnya mereka dapat mengetahui posisi dan kualitasnya. Sebab tidak ada yang mengetahui hadits maqlub kecuali yang memiliki ilmu luas, hafalan yang kuat dan pemahaman yang mendalam. Jenis seperti ini dengan syarat untuk tujuan mengui. Namun sebagian ulama melarang murid-murid mereka membalikkan hadits dihadapan para guru. Keterbalikan yang terjadi pada diri seorang perawi karena lupa, bukan karena tujuan menguji orang lain menjadikannya lemah karena kelemahannya hafalannya , bila hal itu diketahui atau karena seringnya hal itu terjadi pada dirinya. Oleh sebab itu munculnya kedaifan hadits maqlub adalah rendahnya daya hafal pada perawi itu sendiri. 4) Hadits shadh Menurut al-hafiz ibn hajar ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam shadh yaitu penyendirian dan perlawanan, ialah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang terpercaya, atau dengan kata lain, hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dapat diterima, berlawwanan dengan orang yang lebih utama darinya. Imam syafi’I memperkenalkan hadits jenis ini, beliau menyatakan bahwa hadits shad bukanlah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang terpercaya yang berlawanan dengan riwayat banyak orang yang juga terpercaya. Kemudian generasi setelah imam syafi;I sepakat bahwa hadits shadh adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi maqbbul bersebrangan dengan perawi lain yang lebih kuat darinya. Al-hakim berpendapat, bahwa yang dimaksud hadits shadh ialah hadits yang diriwayatkan sendiri oleh salah seorang perawi yang terpercaya dan hadits itu tidak mempunyai muttabi’(jalur lain) yang menguatkan perawi terpercaya. Al-hakim menyampaikan pengertian kesendirian dengan lafaz yang jelas. Sedangkan pengertian “berlawanan” memiliki pengertian lafaz yang tidak jelas. Seandainya mempunyai muttabi’ yang menguatkan perawi terpercaya, tentu ia tidak bertentangan dengan perawi terpercaya yang lain. Perlu diketahui bahwa dalam hadits shad ini al-hakim member syarat tidak adanya muttabi’(jalur lain). 5) Hadits munkar Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi da’if(lemah) yang berlawanan dengan perawi-perawi thiqah(terpercaya). Oleh karena itu, criteria hadits munkar adalah penyendirian perawi da’if dan mukhalafah. Seandainya ada seorang perawi da’if melakukan penyendirian dalam meriwayatkan sebuah hadits, tidak mmenyimpang dari perawi-perawi lain yang terpercaya, maka haditsnya tidak munkar, tetapi da’if. Jika haditsnya bertentangan dengan hadits perawi thiqah(terpercaya)maka yang rajih disebut ma’ruf, sedangkan yang marjuh itulah yang disebut munkar. Dengan demikian, hadits shadh dan munkar sama-sama memiliki criteria mukhalafah. Bedanya pada hadits shadh, perawinya thiqah atau saduq, sementara pada hadits munkar perawinya da’if. 6) Hadits matruk Menurut istilah ahli hadits, hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tertuduh dusta dalam haditsnya atau menampakkan kefasikan dengan perbuatan atau ucapan atau sering salah dan lupa. C. Kehujjahan Hadits Dhaif Berhujjah dengan hadits daif menurut pendapat ulama hadits adalah sebagai berikut: i. Hadits daif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenal fada’il al-a’mal maupun hukum. Ini pendapat yahya bin ma’in. dan pendapat ini disukung oleh ibn al-farabi, nampaknya juga pendapat imam bukhari, imam muslim, imam muslim dan ibn hazm. ii. Hadits da’if bisa diamalkan secara mutlak. Pendapat ini didukung oleh abu dawud dan imam ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadits daif lebi kuat daripada ra’yu perorangan. Menurut ibnu qayyim al-jawziyah didalam ushul fatawiy imam ahmad disebutkan, bahwa hadits mursal dan daif bisa dijadikan hujjah, jika dalam bab itutidak ada hadits lain yang menolaknya. Inilah yang beliau tarjihkan dengan qiyas. Ibnul qayyim menyatakan “tidaklah yang beliau maksudkan hadits hasan adalah yang batil, juga bukan yang munkar, dan bukan riwayat yang mengandung perawi yang tertuduh dusta sekiranya dilarang dijadikan hujjah dan mengamalkannya, tetapi hadits dha’if menurut beliau adalah lawan dari hadits shahih yang merupakan bagian dari hadits hasan. Beliau tidak membagi hadits menjadi,hasan,shahih dan da’if tetapi menjadi shahih dan da’if. Yang da;if menurut beliau memiliki beberpa tingkatan. Dan bila dalam bab tersebut tidak ada atsar yang menolaknya, atau pendapat seorang sahabat ataupun ijma’ yang berbeda dengannya, maka mengamalkannya lebih utama daripada qiyas. iii. Hadits da’if bisa diamalkan dalam masalah fada’il al- ‘amal, atau yang sejenis jika memenuhi syarat. Ibnu hajar menyebutkan syarat sebagai berikut: a) Keda’ifannya tidak terlalu,sehingga tidak tercakup didalamnya seorang pendusta, atau yang tertuduh dusta yang melakukan penyendirian, juga orang yang terlal sering melakukan kesalahan. Al-ala’iy meriwayatkan kesepakatan ulama menhgenai syarat ini. b) Hadits da’if masuk dalam cakupan hadits pokok yang bisa diamalkan. c) Ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus kuat, tapi sekedar hati-hati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar