salam :)

assalamu'laikum welcome to my blog, semoga bermanfaat jangan lupa oleh-oleh komentar dari kalian semua,, terima kasih :)

Selasa, 06 November 2012

HADITS SHAHIH DAN SYARATNYA

Syarat Hadits Shahih
1.Muttasil(bersambung) sanadnya
2. Perawi yang ‘adil (al-‘adalat)
3. Perawi yang dabit (ad-dabtu)
4. Perawi yang tidak shududh (janggal)
5. Perawi yang tidak ‘illat (cacat)

Definisi Syarat-Syarat Hadits Shahih
1. Muttasil (bersambung) sanadnya
Adalah hadits yang mana tiap-tiap periwayat dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat sebelumnya yang terdekat, keadaaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits tersebut. Jadi, seluruh rangkaian periwayat dalam sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh mukharrij (penghimpun hadits dalam karya tulisnya) sampai kepada kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadits yang periwayatannya bersambung dari Nabi.
Ulama hadits berbeda pendapat mengenai nama hadits yang sanadnya bersambung. Al-Khatib Al-Baghdadi(463 H / 1072 M) memberi nama dengan hadits musnad. Sedangkan musnad sendiri menurut Ibn Abd Al-Bar(463 H / 1071 M) ialah hadits yang disandarkan kepada nabi(hadits marfu’) sedangkan hadits musnad sanadnya ada yang bersambung dan ada yang terputus. Dengan demikian ulama hadits umumnya berpendapat bahwa hadits musnad pasti marfu’ dan bersambung sanadnya sedangkan hadits marfu’ belum tentu hadits musnad.
Untuk mengetahui bersambung(dalam arti musnad) atau tidak bersambung suatu sanad, ulama hadits menempuh penelitian sebagai berikut:
(a) Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti
(b) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat
(c) Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yaitu apakah kata yang dipakai berupa haddatsani, haddatsana, akhbarna, ‘an, anna atau kata yang lainnya.
Jadi suatu sanad hadits baru dikatakan bersambung jika:
(a) Seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar thiqat (adil dan dhabit); dan
(b) Antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwatan hadits secara sah menurut ketentuan tahammul wa al-ada” al-hadits (tranformasi penyampaian dan penerimaan hadits)
2) Perawi yang Adil (al- ‘adalat)
Adalah sifat yang melekat pada jiwa seorang perawi, dan dapat menjadikan dirinya konsisten dalam menjalankan agama, serta mampu memelihara ketaqwaan dan muru’ah. Prinsip ini dirumuskan dari unsure-unsur yang harus dimiiliki oleh seorang perawi.
Ulama hadits membuat rumusan bahwa keadilan seorang perawi harus dikonotasikan kepada seorang muslim yang telah baligh dan berakal sehat, serta bebas dari fasiq dan moral yang rendah. Karena menurut pendapat ulama hadits, pada berbagai hal menempatkan persoalan periwayatan hadits sebagai bagian dari aspek agama, sehingga persoalan agama harus terpelihara dari pengaruh social yang negative, maupun percampuran dengan doktrin-doktrin yang tidak benar bahkan menyesatkan.
Imam syafii dan imam ahmad bin hambal, menyatakan bahwa untuk mengungkap keadilan seorang perawi tidak dapat terlepas dari pengungkapan biografinya, dan membandingkan dengan perilaku atau biografi seorang figure yang baik menurut orang banyak, dan beliau menolak periwayatan orang kafir, tetapi ia tidak ditolak sebagi murid.
Apabila menjadi muslim dan meriwatkan kembali hadits yang telah diterimanya, maka dapat diterima periwayatannya. Sama halnya dengan periwayatan anak yang belum dewasa, statusnya hanya sebagai murid dan tidak sebagai seorang perawi dan diterima periwayatannya apabila telah akil baligh, begitu juga dengan orang fasik dan munafik, ditolak periwayatannya hingga keduanya bertobat. Dan menurut Abu Hanifah, yang dimaksud dengan perawi yang adil adalah seorang muslim yang baik, terutama dalam Aqidah maupun syariahnya. Dengan kata lain bahwa ia adalah seorang muslim yang dapat memelihara aqidah dan syariahnya serta mampu mengaktualisasikan kedua hal tersebut. Beberapa rumusan tentang keadilan yang dinyatakan oleh tokoh-tokoh sesudah abad kedua hijriah adalah sebagai berikut:

(a) Muhammad bin ubaidillah al-maliki mennyeritakan bahwa al-qadi Abu Bakr Muhammad bin Thayyib mengatakan; al-‘adalat(keadilan) yang dimaksud baik dalam persaksian maupun periwayatan ialah dikonotasikan pada konsistensi beragama (lurus agamanya) terlepas dari fanatisme aliran, terhindar dari kefasikan, atau perbuatan sama, baik dari perilaku maupun hati.
(b) Keadilan yang berkembang dikalangan ulama hadits, sejak awal abad ketiga hijriah sampai sekarang. Al-adalat(keadilan) ialah suatu sikap pengendalian diri dari perbuatan dosa besar dan kecil. Yang lebih rinci lagi dinyatakan : bahwa orang-orang yang selalu taat kepada agama dan mampu memelihara etikanya, maka dapat diterima periwayatan dan kesaksiannnya. Namun bila selalu dalam kemaksiatan dan beretika rendah, maka ditolak semua periwayatannya.
(c) Dari kalangan fuqaha’ ditemukan beberapa rumusan seperti yang dikemukakan al-ghazali, bahwa al-adalat(keadilan) baik dalam periwayatan maupun persaksian yaitu ungkapan yang dimaksud untuk mengetahui keberadaan keagamaan seorang secara konsisten, dan impikasinya dalam sikap, perilaku maupun jiwa dan ketaqwaan.
(d) Ibnu taimiyah dalam suatu pendapatnya mengatakan bahwa al-adalat adalah sikap dan sifat yang dimiliki seseorang yang dapat memelihara kemaslahatan-kemaslahatan dan hukum-hukum.
(e) Rumusan yang dikemukakan dari penafsiran ulama usul. Dimaksud dengan ‘adil adalah ungkapan yang menunjukkan titik tengah antara beberapa hal, tanpa lebih atau kurang terhadap satu hal, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an ; Kata wasatan adalah al-‘adl dan al-wasat menunjuk makna satu yaitu al-‘adl. Perkembangan prinsip al-adalat sebagai penentu diterima atau ditolaknya suatu riwayat hadits, memperlihatkan sebagai syarat yang baku untuk memelihara kesahihan kehujjahan as-sunnah. Prinsip ini oleh para ulama dipegangi sebagai asas untuk menentukan antara ditolak atau diterimanya suatu riwayat hadits. Tidak jarang diantara para sahabat mengambil sikap menangguhkan hadits yang disampaikan oleh sahabat lain, sebelum diperoleh informasi yang akurat dari sahabat lain. Tidak sedikit pula diantara mereka menyaksikan periwayatan yang disampaikan oleh orang tertentu. Meski sikap itu diambil oleh sebagia sahabat namun bukan dimaksud untuk menciptakan kerendahan martabat sahabat dalam periwayatan hadits, malainkan untuk menentukan otentitas kualitas hadits sebagai sumber syariah. Sehingga kalangan utama dari generasi sesudahnya mengangkat prinsip tersebut sebagai suatu kaidah atau prinsip untuk menentukan suatu sumber syariah. Himgga memasuki periode abad ketujuhpun tidak mengalami perubahan, dan oleh para ulama, baik muhaditsin maupun usuliyin serta fuqaha’ masih memegangnya. Seperti pada kitab-kitab yang mengkaji teori-teori hadits maupun teori usul fiqh sampai decade sekarang tidak menghapuskan prinsip al-adalat, dalam penilaian atau penerimaan as-sunnah sebagai dasar pembangunan hukum syariah.
3) Perawi yang dabit(ad-dabtu)
Secara terminologi al-dawabit ialah ilmu untuk menyatakan kapabilitas seorang perawi, secara etimologi dapat diartikan penguasaan dengan mantap, pelakunya disebut dengan orang yang kokoh dalam berusaha Pengertian secara terminology diantaranya:
1. Ahli hadits berarti kecerdikan seorang perawi menerima hadits dan memeliharanya, hingga sewaktu menyampaikan ulang tanpa adanya kesalahan atau kerancuan, baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.
2. Para ulama usul fiqh menekankan seorang perawi pada kesempatan pemeliharaan serta kemampuan hafalan, terhindarnya dari kelupaan atau kerancuan diantara satu riwayat dengan riwayat lain yang dimiliki oleh seorang perawi.
3. Sama dengan teori yang lebih awal dikemukakan oleh al-shafi’I bahwa untuk suatu riwayat harus disampaikan oleh seorang perawi yang mampu memelihara periwayatan hadits secara otentis, baik dari hafalan maupun catatannya, disamping mengetahui perubahan struktur kata dan maknanya.
4. Imam malik menyatakan bahwa sebuah hadits harus diriwayatkan dari seorang laki-laki yang bertaqwa dan mampu memelihara periwayatan, mempunyai pengetahuan dan dapat memahami, juga mengetahui bila terdapat perubahan materi periwayatan dari hafalannya pada saat meriwayatkan ulang.
Karena itu, bila seorang rawi tidak memiliki kapabilitas demikian, maka tidak aka nada artinya dari apa yang telah diriwayatkannya dan tidak dapat dijadikan hujjah periwayatannya.
Makna al-dabit kemudian mengalami pemilahan secara karakteristik, yaitu al-dabtu fi al sudur dan al-dabtu fi al-kitabah.
1. Ciri pada sifat yang pertama (al-dabtu fi al sudur) adalah kecermatan seorang perawi menghafal hadits secara terus menerus, dan ia mampu mengekspos kembali untuk diriwayatkan tanpa mengalami kesulitan dan kesalahan, sebagaimana diwaktu ia menerimanya.
2. Pada ciri yang kedua (al-dabtu fi al-kitabah) bahwa seorang perawi memiliki kemampuan memelihara materi periwayatan dalam bentuk pencatatannya, sebagaimana bentuk asli, materi yang dicatat tidak terdapat kesalahan maupun kerancuan , dan dapat diriwayatkan kembali secara benar seperti di saat menerimanya.
Sebelum digunakan pembahasan tersebut sebagai dasar dalam periwayatan, para sahabat terlebih dahulu menggunakan istilah ghulat sebagai pernyataan korektif atas sahabat yang mengalami kesalahan atau kerancuan dalam periwayatannya. Kesalahan yang dimaksud adalah timbul karena lupa, bukan karena peristiwa kesengajaan yang dimaksudkan untuk merancukan struktur kalimat atau makna,lebih-lebih untuk menciptakan kebohongan dalam penggunaan as-sunnah sebagai dasar agama. Beberpa sahabat dapat disebutkan sebagai peletak dasar ini, sebagaimana yang ditempuh oleh umar bin khattab, ali bin abi thalib, ibn abbas Abdullah bin salam ubadah bin samit anas bin malik dan aisyah. Layaknya umar pernah menyampaikan suatu riwayat yang terjadi perbedaan redaksi dengan hadits yang diterima oleh Asma’ binti Umair. Tujuan yang dimaksud dalam upaya pengoreksian atas suatu riwayat, pada dasarnya murni untuk menggali otentisan dan realibilitas hadits yang sudah berdedar dalam masyarakat. Merupakan langkah yang obyektif dengan dikeluarkannya usaha tersebut, karena menurut persepsi para sahabat meskipun diantara para sahabat tidak berkepentingan untuk merusak keyakinan masyarakat terhadap sunnah rosul sebagai hokum syariah, namun tidak mustahil kesalahan periwayatan itu tidak terjadi di kalangan para sahabat. Di samping tidak bermaksud untuk merendahkan kredibilitas para sahabat tentang komitmen mereka dalam upaya penyebaran hadits sebagaimana yang dicontohkan oleh rosulullah. Karena para sahabat sangat menaruh perhatian untuk menempatkan kebenaran periwayatan sunnah rosulullah secara murni. Agar tidak terjadi kontradiksi antara redaksi atau makna sebuah hadits dengan riwayat hadits yang sama dari riwayat sahabat lain. Atau juga untuk menghindari percampuran dengan redaksi al-qur’an sebab pada masa sesudah rosulullah wafat, antara teks-teks al-qur’an an al-sunnah sama-sama tersebar di kalangan para sahabat. Usaha dan tujuan yang dibangun oleh para sahabat semakin kokoh penerapannya dikalangan para tabi’in. mereka mempertahankan atau mengaktualisasikannya tidak lagi hanya sebagai dasar pokok penolakan maupun penerimaan suatu periwayatan hadits. Namun para sahabat juga mengembangkannya dalam bentuk dasar-dasar teoritik, untuk menentukan baik kredibilitas perawi juga validitas al-sunnah untuk disosialisasikan sebagai manifestasi ajaran rosulullah. Tidak sedikit di antara mereka yang membuat pernyataan-pernyataan untuk mempertahankan dasar-dasar kedabitan dalam sistem periwayatan al-sunnah. Di antara ahli hadits Sufyan Al-sawri mengatakan “seorang perwawi tidak mungkin terjadi ghulat (salah) jika ia memiliki hafalan yang melebihi orang lain meskipun dia lupa. Namun jika ia banyak lupa atau kesalahannya maka ia ditinggalkan(ditolak)” Tampilnya mujtahid, terutama dari kalangan fuqaha’ disamping menambah keluasan penerapan serta pengembangan dasar ini kedalam bidang kajian dasar-dasar teoritik yang bersifat universal untuk diterapkan pada semua jenis periwayatan. Mereka mengambil sikap yang sama dalam penerapan dasar kedabitan untuk perawi hadits, sekaligus sebagai hujjah bagi mazhab mereka. Abu hanifah dalam pernyataanya – selanjutnya menjadi dasar mazhab hanafiyah – menegaskan bahwa kedabitan yang dimaksudkan yaitu seorang perawi harus mampu mendengarkan sesuai dengan apa yang disampaikan seorng guru atau orang yang menyampaikan, memahami makna yang dimaksud dalam materi periwayatannya, selanjutnya memlihara secara benar, selalu hafal hingga ia meriwayatkan kepada orang lain, juga mampu menyampaikan secara benar dan otentis Berbeda dengan ahli hadits, abu hanifah mengklasifikasikan antara dabtu al-sudur dan dabtu al-ma’ani, yaitu:
1. Sifat yang pertama(dabtu al-sudur) ialah seorang perawi dapat mengetahui dan tidak lemah ingatannya
2. Pada sifat yang kedua (dabtu al-ma’ani) bahwa perawi harus memahami hukum-hukum atau syariah yang dijelaskan dalam materi periwayatan. Abu hanifah dan penganut mazhabnya bersikap sangat kritis terhadap prinsip ini. Kemampuan kefaqihan seorang perawi bagi mazhabnya merupakan unsure utama dalam dasar pembangunan syariah karena baik secara teoritis maupun praktis dasar al-‘adillah(saling bertentangan dalil) diantar satu riwayat dengan yang lain seperti hadits yang dijadikan hujjah oleh Abu Hanifah.
Imam malik tidak menafsirkan kedabitan seorang perawi hanya memiliki kapabilitas memelihara hadits. Namun lebih lanjut beliau mensyaratkan juga
a. Seorang perawi harus memiliki keahlian di bidang hadits, dan
b. Memiliki pemahaman yang baik terhadap hadits yang diriwayatkan,
Menurut beliau bahwa seorang perawi yang tidak memiliki pengetahuan dan daya pemahaman tentang hadits disamping tidak memiliki kecakapan dalam periwayatannya, dan hadits yang diriwayatkan tidak dapat dijadikan hujjah. Sebab dikawasan madinah pada masa imam malik adalah merupakan dar al-hadits. Sehingga keaslian ajaran rosulullah yang tercermin dalam sunnahnya masih berjalan di kalangan komunitas muslim madinah sesuai dengan sunnah. Imam syafi’i lebih dalam lagi menginterpretasi kedabitan seorang perawi, bahwa kehujjahan seorang perawi hadits untuk diterima haditsnya adalah perawi yang memiliki kecakapan memelihara al-sunnah, baik dalam bentuk hafalan maupun catatannya. Ia tidak mengalami perubahan sedikitpun, jika meriwayatkan hadits kepada muridnya atau orang lain dan ia mampu menciptakan kebenaran otentis antara hafalan dann catatannya secara komprehensif. Meskipun imam syafi’I tidak mensyaratkan spesifikasi lain kepada seorang perawi, bahwa kecakapan yang dimiliki oleh seorang perawi dalam memelihara al-sunnah akan memberikan otentitas periwayatan. Sebab yang dimaksud al-dabtu menurut imam syafi’i adalah menunjuk kepada suatu persyaratan bahwa seorang perawi harus memiliki intelegensi yang baik,memiliki pendengaran yang baik dan mengetahui perbedaan huruf dan mendengar seara langsung, bukan pelupa dan bukan anak kecil atau orang dewasa yang tidak mengalami kestabilan intelegensi, sehingga sangat dimungkinkan otentias al-sunnah dapat terjamin.
Tingkat kedabitan peraawi menurut klasifikasi para ulama hadits ada empat macam : 1) Tam al-dabit adalah seorang perawi yang memiliki kesempurnaan hafalan dan pemeliharaan, atau hampir sama tidak terdapat kelemahan dalam hafalan dan catatannya
2) Seorang perawi yang memiliki kedabitan sama dengan ghulatnya(kesalahan)
3) Seorang perawi yang memiliki kedabitan lebih dari ghulatnya(kesalahan)
4) Seoramg perawi yang mengalami ghulat lebih banyak dari dabitnya
Dari keempat klasifikasi tersebut ada yang mutlak diterima, ada yang dipertimbangkan, dan ada juga yang mutlak ditolak oleh sebagian ulama maupun jumhur ulama.
Ulama hadits merumuskan suatu batasan bahwa seorang perawi yang mengalami banyak kekeliruan dalam meriwayatkan hadits ditolak periwayatannya meskipun ia seorang yang bersifat ‘adil. Menurut mereka seorang perawi yang banyak kekeliruan atau kerancuannya bukan termasuk orang yang memnuhi standar sebagai perawi hadits, karena ia sangat rendah kualitas kedabitannya.alasan mereka bahwa ghulatnya atau rendahnya hafalan seorang perawi merupakan cacat yang memengaruhi kredibilitas maupun status seorang perawi. Sehingga seorang perawi yang dapat diterima periwayatan haditsnya, hanya mereka yang sempurna kedabitannya dan sedikit kesalahannya. Perkembangan selanjutnya yang dibangun oleh para ulama, terutama oleh ahli hadits adalah metode komparasi, untuk menentukan standarisasi diterima atau ditolak.
Periwayatan hadits atas dasar kedabitan perawi sebagai berikut:
1) Seorang perawi yang memiliki hafalan disamping kitabah dan dapat memelihara secara otentis sehingga ia menyampaikan kepada orang lain, maka status perawi dan haditsnya adalah berada pada posisi yang paling atas. Hadits yang diriwayatkan dari perawi ini merupakan hujjah, tidak diperlukan komparasi dengan periwayatan dari perawi yang lebih kuat
2) Perawi yang memiliki hafalan disamping catatan, tetap diketahui adanya perbedaaan diantaranya, dikalangan ulama hadits ber-hujjah berdasarkan kitabahnya(catatn) sebab catatan merupakan penguat bagi hafalan seorang perawi yang terpelihara, seperti yang dipegangi ibn al-mubarak, ahmad bin hambal, abdulllah bin zubair al-humaidi, yahya bin ma’in abdul rahman al-mahdi, ibnu juraij, abu dawud dan ibnu sinan
Teori komparasi yang dimaksud sebagai metode standarisasi kedabitan perawi, adalah penyesuaian atau perbandingan periwayatan seorang perawi dengan perawi lain yang lebih dabit tentang hadits yang sama atau perawi yang memiliki kedabitan baik dan tidak melakukan kesalahan atau pelupa dalam meriwayatkan sunnah rosul. Prinsip standarisasi kedabitan perawi secara operasional adalah memiliki fungsi yang sangat fundamental. Lebih dari itu hal ini dikembangkan sebagai teori pengklasifikasian nilai – terutama ulama hadits, - juga sebagai teori pentarjihan dalil as-sunnah dalam permasalahan ta’arud al adillat. Secara institusional bahwa prinsip ini sangat dipengaruhi oleh kondisi social komunitas muslim, sejak masa sahabat sampai dibakukannya prinsip tersebut dalam sistem kritik hadits. Nuansa politik yang dialami oleh tokoh-tokoh termasuk para ulama, dan aktifitas gerakan kaum zindiq, tidak ketinggalan juga yakni kaum non muslim, tidak sedikit yang ikut andil memainkan peranan as-sunnah sebagai dasar dijadikan hujjah oleh kaum muslimin, untuk menjalankan agama dan syariatnya Oleh karenanya, antisipasi terhadap nuansa demikian itu melahirkan dan menjadikan pemberlakuan adanya dasar yang dapat mensterilkan as-sunnah pada sifat otentitsnya. Sebab keterlibatan pihak-pihak yang tidak memiliki kapasitas di bidang periwayatan hadits, lebih dari itu adalah oknum-oknum non muslim dalam realitas social telah menciptakan suatu kondisi negative terhadap sosialisasi as-sunnah, sangatlah merisaukan bahkan mengancam kedudukan as-sunnah sebagai dasar agama dan syariahnya. Sebagaimana dapat dikaji dalam persoalan pemalsuan hadits, dan pada sisi lain adalah pemutarbalikan ajaran-ajaran as-sunnah untk tujuan yang tidak proporsional. Sehingga secara social keagamaan dapat ditemukan adanya elemen yang menguatkan, bahwa dasar kedabitan merupakan hal penting dalam penyebarluasan, dan sosialisasi ajaran as-sunnah.
4) Perawi tidak shadh/shududh (janggal)
Kata al-shudud secara etimologi berarti janggal atau ganjil. Secara terminology kata ini hanya dipakai dalam hal periwayatan hadits, dengan beberapa rumusan batasannya(definisi), sejalan dengan perkembangan kajian hadits. Tetapi antara satu definisi dengan lainnya terdapat unsure dasar yang sama, meskipun rumusan atas dasar konteks yang berbeda menurut interpretasi kajian ilmu ini, diantaranya adalah:
1. Imam syafi’I sebagai perumus awal mengatakan bahwa yang dimaksud shadh adalah suatu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi thiqah beda dengan periwayatan orang kebanyakan - yang memiliki kredibilitas lebih thiqah
2. Menurut ibnu qayyim al-jawziyah, bahwa pengertian al-shududh adalah periwayatan hadits yang tidak bertentangan dengan periwayatan lain yang lebih thqah. Jika perawi thiqah meriwayatkan secara sendirian, tidak ditemukan riwayat lain yang dapat dikategorikan shadh.
Prinsip ini digunakan sebagai langkah komprehensif dalam kajian hadits, yaitu langkah komparasi antara satu riwayat dengan riwayat lain. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahahui akurasi dan otentitas periwayatan, dari perawi yang lain. Meskipun pencarian dalam hal ini sangat sulit, namun para ulama membakukannya sebagai prinsip dasar diterima atau ditolaknya suatu periwayatan. Sebab dengan metode komparasi ini tidak hanya dapat diketahui kredibilitas perawi maupun materi periwayatannya, namun juga kehujjahan sumber syariah dan ajaran yang disebutkan dalam materi periwayatannya.
Kejanggalan shududh al-ririwayah sangat dipengaruhi oleh aspek eksternal riwayat, daripada internal. Seperti keadilan seorang perawi dapat memengaruhi motivasi periwayatan dari seseorang, di samping emosi psikis atau mental perawi, sebagaiman diungkap dalam dasar keadilan. Sedang pengaruh keabitan dan kecerdasan seorang perawi dapat mewarna sifat dan kualitas periwayatannya. Bahwa perawi yang memiliki kedabitan sempurna, ia mampu mengetahui kebenaran apa yang diriwayatkan dari berbagai kekeliruan dan kesalahan, baik makna maupun redaksinya. Dengan latar belakang tersbut jumhur ulama menetapkan sebagai prinsip atau syarat untuk menentukan ditolak atau diterimannya suatu periwayatan hadits. Bahkan generasi sesudah imam syafi’I membakukannya sebagai persyaratan utama dalam menentukan kelas kehujjahan suatu hadits.
5) Perawi tidak ‘illat(cacat)
Secara etimologi kata al-‘illat berarti penyakit ‘aib(cacat) dan secara terminology (menurut ulama hadits) adalah suatu sebab yang menjadikan cacatnya hadits dan kesahihannya.
Para ulama hadits mengklasifikasikan ‘illat hadits menjadi tiga bagian yaitu :
1.Sanad
2.Matan
3.Sanad juga matan
Kenyataan yang ditemukan para ulama memberi petunjuk untuk menemukan otentitas sebuah hadits. Dalam hal ini para ahli hadits – yang banyak mengkaji otentitas hadits – sangat menekankan pada prinsip ini, sementara para ulama usul sangat menekankan pada persoalan dalil as-sunnah secara materi. Menurutnya bahwa ‘illat yang terdapat pada hadit, semata kehujjahannya, bahkan hanya pada kesahihannya. Tetapi jika hadits ghayru al-qadihah itu dimungkinkan untuk dikompromikan maka tidak menutup untuk menjadikan pada nilai shahih dapat dijadikan hujjah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar